PENDIDIKAN (DAN / VS) BUDAYA

PENDIDIKAN (DAN / VS) BUDAYA

Oleh : Hidayaturrahman, S.Pd.Gr (Guru Puncak)

_________________________________________________________________________

Pendidikan dan Budaya merupakan 2 (dua) hal yang terkadang saling mendukung dan terkadang saling bertolak belakang. Hal ini tergantung sungguh faktor apa yang berada dibalik keduanya.

Banyak faktor yang bisa mempengaruhi hubungan antara keduanya yang salah satunya adalah masalah kebutuhan, baik itu kebutuhan gaya hidup ataupun kebutuhan kehidupan untuk sehari-hari.

SMP Negeri 12 Kota Bima yang lebih dikenal dengan sebutan Sekolah Puncak merupakan salah satu sekolah yang berada di Kota Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tepatnya berada di wilayah Kelurahan Lelamase Kecamatan Rasanae Timur dan bergeografis di dataran tinggi atau pegunungan.

Sekolah yang hanya memiliki peserta didik sebanyak 63 siswa dan siswi serta  didominasi oleh siswi ini bisa dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani yang hanya mengandalkan musim hujan sebagai sumber mata pencahariannya dikarenakan hanya bertani disaat musim hujan saja mengingat hanya mengandalkan ladang-ladang di pegunungan yang mereka miliki.

Banyak hal unik yang bisa di temui di Sekolah Puncak saat musim penghujan (tanam) tiba. Terutama bagi peserta didik yang berjenis kelamin perempuan. Salah satunya adalah salah satu budaya yang memang dibiasakan dan menjadi darah daging di wilayah sekitar SMP Negeri 12 Kota Bima yang dikenal dengan sebutan “WEHA (COLA) RIMA”.

Weha (Cola) Rima merupakan istilah Bahasa Bima yang bisa diartikan sebagai tolong menolong, gotong royong, atau bahu membahu. Kegiatan “Weha (Cola) Rima” merupakan suatu aktifitas atau kegiatan yang dilakukan dalam bentuk gotong royong dan saling membantu dalam prosesi tanam pada setiap musim tanam. Dimana, saling bergantian untuk membantu rekan, saudara, keluarga, ataupun tetangga dalam prosesi tanam tersebut.

Sebagai contoh kegiatan weha (cola) rima yaitu: Jika keluarga A akan mulai proses tanam, maka keluarga B akan ikut membantu prosesi tersebut. Begitupun sebaliknya, jika tiba waktunya keluarga B yang akan memulai proses tanam, maka keluarga A yang akan membantu proses tersebut sampai pada tahapan panen hasil tani mereka masing-masing.

Dalam prosesi Weha (cola) Rima tidak hanya orang tua yang ikut ambil bagian, melainkan semua anggota keluarga termasuk peserta didik yang masih menjadi siswa dan siswi Sekolah Puncak terlebih khusus yang berjenis kelamin perempuan. Sehingga pada saatnya musim tanam tiba, maka jarang sekali peserta didik yang bisa hadir ke sekolah untuk melakukan proses pembelajaran seperti biasanya terutama peserta didik perempuan karena selain harus membantu orang tuanya dalam prosesi tanam, harus juga mengikuti prosesi Weha (cola) Rima.

Prosesi Weha (Cola) Rima ini tentunya memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing. Positif dalam hal menjaga budaya di daerah serta menanamkan rasa gotong royong dan kerja sama bagi peserta didik serta mampu memunculkan rasa saling menghargai, membantu sesama dan memupuk rasa tanggung jawab. Disisi lain, terdapat juga sisi negatifnya antara lain peserta didik lebih sering meninggalkan sekolah untuk prosesi tanam di pegunungan mereka.

Ada perasaan DILEMA untuk peserta didik jika musim tanam tiba antara memilih tetap melakukan proses pembelajaran disekolah atau harus mengikuti budaya yang sudah berjalan di daerah mereka. Hal ini tentunya kembali lagi terhadap tuntutan kebutuhan dari peserta didik dimana jika mereka tetap harus mengikuti proses pembelajaran di sekolah, maka mereka tidak akan bisa membantu orang tua mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Disisi lain, jika mereka membantu orang tua mereka di lahan pertaniannya, maka akan banyak meninggalkan materi pembelajaran di sekolah.

Kembali ke kuadrat manusia untuk terlebih dahulu memenuhi kebutuhan hidup mereka, maka peserta didik akan lebih memilih untuk membantu orang tua dan mengikuti prosesi budaya weha rima dibandingkan untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Oleh sebab itu, kami selaku guru di sekolah, tidak terlalu membatasi dan mengekang peserta didik untuk tetap harus mengikuti pembelajaran di sekolah mengingat tingkat ekonomi peserta didik yang menengah kebawah yang benar-benar hanya bisa bertahan hidup dari hasil tani yang hanya sekali setahun tersebut. Dan untuk ketertinggalan pembelajaran ketika mereka membantu orang tua mereka, kami selaku pendidik di sekolah tetap menyarankan untuk berdiskusi dan melakukan pembelajaran secara berkelompok di rumah mereka bersama teman-teman mereka yang mengikuti pembelajaran setelah mereka beraktifitas di ladang (gunung) mereka.

Banyak pembelajaran tentunya yang bisa kita dapatkan dari situasi diatas, antara lain : bagaimana kita harus mampu membantu mata pencaharian kedua orang tua untuk menghidupi keluarga serta bagaimana agar tetap bisa membantu sesama tanpa mengurangi kapasitas pembelajaran yang peserta didik dapat tentunya dengan memanfaatkan fungsi kontrol dari pihak sekolah.